Jumat, 05 Juli 2013

Cerita Dewasa

medical check up di sebuah klinik
kesehatan di Jakarta, guna
memenuhi persyaratan agar
diterima bekerja di sebuah
perusahaan dan kebetulan saya
juga diajak teman saya untuk mengikuti program asuransi jiwa
karena dia adalah agen dari salah
satu perusahaan terkemuka di
Indonesia, jika tidak salah nama
perusahaannya adalah AIA. Sebenarnya saya malas melakukan
medical check up ini. Pasti lagi-lagi
cuma cek darah, air seni, dan
kotoran saja. Kemudian diperiksa
oleh dokter memakai stetoskop
untuk menyakinkan bahwa saya terkena penyakit atau tidak. Itu
saja menurut saya, tidak ada yang
lain. Dokter yang akan memeriksa
saya paling-paling juga dokter
cowok, mana sudah tua lagi. Dengan sekali-sekali menguap
karena jenuh karena sudah
hampir setengah jam saya
menunggu dokter yang tak
kunjung datang. Padahal saya
sudah melalui proses medical check up yang pertama, yaitu
pemeriksaan darah, air seni, dan
kotoran. Beberapa kali saya
menanyakan pada orang di loket
pendaftaran dan selalu
memperoleh jawaban sama, yaitu agar saya sabar sebab dokternya
dalam perjalanan dan mungkin
sedang terjebak macet. Saya
melihat arloji di tangan saya.
Akhirnya saya memutuskan
bahwa kalau dokternya tidak juga datang limabelas menit lagi, maka
saya akan pulang saja ke rumah. Dengan menarik nafas kesal, saya
memandangi sekeliling saya. Tahu-
tahu mata saya tertumbuk pada
seorang wanita yang baru saja
masuk ke dalam klinik tersebut.
Amboi, cantik juga dia. Saya taksir usianya sekitar 35 tahun. Tetapi
alamak, tubuhnya seperti cewek
baru duapuluhan. Kencang dan
padat. Payudaranya yang
membusung cukup besar itu
tampak semakin menonjol di balik kaos oblong ketat yang ia
kenakan. Gumpalan pantatnya di
balik celana jeans-nya yang juga
ketat, teramat membangkitkan
selera. Batinku, coba dokternya
dia ya. Tidak apa-apa deh kalau harus diperiksa berjam-jam
olehnya. Akan tetapi karena rasa
bosan yang sudah menjadi-jadi,
saya tidak memperhatikan wanita
itu lagi. Saya kembali tenggelam
dalam lamunan yang tak tentu arahnya. “Mas, silakan masuk. Itu dokternya
sudah datang.” Petugas di loket
pendaftaran membuyarkan
lamunan saya. Saat itu saya sudah
hendak memutuskan untuk
pulang ke rumah, mengingat waktu sudah berlalu limabelas
menit. Dengan malas-malasan saya
bangkit dari bangku dan berjalan
masuk ke ruang periksa dokter. “Selamat malam”, suara lembut
menyapa saat saya membuka
pintu ruang periksa dan masuk ke
dalam. Saya menoleh ke arah
suara yang amat menyejukkan
hati itu. Saya terpana, ternyata dokter yang akan memeriksa saya
adalah wanita cantik yang tadi
sempat saya perhatikan sejenak.
Seketika itu juga saya menjadi
bersemangat kembali.
“Selamat malam, Dok”, sahut saya. Ia tersenyum. Aah, luluhlah hati
saya karena senyumannya ini
yang semakin membuatnya cantik.
“Oke, sekarang coba kamu buka
kaos kamu dan berbaring di sana”,
kata sang dokter sambil menunjuk ke arah tempat tidur yang ada di
sudut ruang periksa tersebut. Saya pun menurut. Setelah
menanggalkan kaos oblong, saya
membaringkan diri di tempat tidur.
Dokter yang ternyata bernama
Dokter S itu menghampiri saya
dengan berkalungkan stetoskop di lehernya yang jenjang dan
putih.
“Kamu pernah menderita penyakit
berat? Tipus? Lever atau yang
lainnya?” Tanyanya. Saya
menggeleng. “Sekarang coba kamu tarik nafas
lalu hembuskan, begitu berulang-
ulang ya.” Dengan stetoskopnya,
Dokter S memeriksa tubuh saya.
Saat stetoskopnya yang dingin itu
menyentuh dada saya, seketika itu juga suatu aliran aneh menjalar di
tubuh saya. Tanpa saya sadari,
saya rasakan, batang kemaluan
saya mulai menegang. Saya
menjadi gugup, takut kalau
Dokter S tahu. Tapi untuk ia tidak memperhatikan gerakan di balik
celana saya. Namun setiap
sentuhan stetoskopnya, apalagi
setelah tangannya menekan-
nekan ulu hati saya untuk
memeriksa apakah bagian tersebut terasa sakit atau tidak, semakin
membuat batang kemaluan saya
bertambah tegak lagi, sehingga
cukup menonjol di balik celana
panjang saya. “Wah, kenapa kamu ini? Kok itu
kamu berdiri? Terangsang saya
ya?” Mati deh! Ternyata Dokter S
mengetahui apa yang terjadi di
selangkangan saya. Aduh! Muka
ini rasanya mau ditaruh di mana. Malu sekali!
“Nah, coba kamu lepas celana
panjang dan celana dalam kamu.
Saya mau periksa kamu menderita
hernia atau tidak.” Nah lho! Kok
jadi begini?! Tapi saya menurut saja. Saya tanggalkan seluruh
celana saya, sehingga saya
telanjang bulat di depan Dokter S
yang bak bidadari itu.
Gila! Dokter S tertawa melihat
batang kemaluan saya yang mengeras itu. Batang kemaluan
saya itu memang tidak terlalu
panjang dan besar, malah
termasuk berukuran kecil. Tetapi
jika sudah menegang seperti saat
itu, menjadi cukup menonjol. “Uh, burung kamu biar kecil tapi
bisa tegang juga”, kata Dokter S
serasa mengelus batang kemaluan
saya dengan tangannya yang
halus. Wajah saya menjadi
bersemu merah dibuatnya, sementara tanpa dapat dicegah
lagi, batang kemaluan saya
semakin bertambah tegak
tersentuh tangan Dokter S. Dokter
S masih mengelus-elus dan
mengusap-usap batang kemaluan saya itu dari pangkal hingga
ujung, juga meremas-remas buah
zakar saya.
“Mmm.. Kamu pernah bermain?”
Saya menggeleng. Jangankan
pernah bermain. Baru kali ini saya telanjang di depan seorang wanita!
Mana cantik dan molek lagi! “Aahh..” Saya mendesah ketika
mulut Dokter S mulai mengulum
batang kemaluan saya. Lalu
dengan lidahnya yang
kelihatannya sudah mahir
digelitiknya ujung kemaluan saya itu, membuat saya menggerinjal-
gerinjal. Seluruh batang kemaluan
saya sudah hampir masuk ke
dalam mulut Dokter S yang cantik
itu. Dengan bertubi-tubi disedot-
sedotnya batang kemaluan saya. Terasa geli dan nikmat sekali. Baru
kali ini saya merasakan
kenikmatan yang tak tertandingi
seperti ini. Dokter S segera melanjutkan
permainannya. Ia memasukkan
dan mengeluarkan batang
kemaluan saya dari dalam
mulutnya berulang-ulang.
Gesekan-gesekan antara batang kemaluan saya dengan dinding
mulutnya yang basah
membangkitkan kenikmatan
tersendiri bagi saya.
“Auuh.. Aaahh..” Akhirnya saya
sudah tidak tahan lagi. Kemaluan saya menyemprotkan cairan
kental berwarna putih ke dalam
mulut Dokter S. Bagai kehausan,
Dokter S meneguk semua cairan
kental tersebut sampai habis.
“Duh, masa baru begitu saja kamu udah keluar.” Dokter S meledek
saya yang baru bermain oral saja
sudah mencapai klimaks. “Dok.. Saya.. baru pertama kali..
melakukan ini..” jawab saya
terengah-engah.
Dokter S tidak menjawab. Ia
melepas jas dokternya dan
menyampirkannya di gantungan baju di dekat pintu. Kemudian ia
menanggalkan kaos oblong yang
dikenakannya, juga celana jeans-
nya. Mata saya melotot
memandangi payudara
montoknya yang tampaknya seperti sudah tidak sabar ingin
mencelat keluar dari balik BH-nya
yang halus. Mata saya serasa mau
meloncat keluar sewaktu Dokter S
mencopot BH-nya dan
melepaskan celana dalamnya. Astaga! Baru sekarang saya
pernah melihat payudara sebesar
ini. Sungguh besar namun
terpelihara dan kencang. Tidak
ada tanda-tanda kendor atau
lipatan-lipatan lemak di tubuhnya. Demikian pula pantatnya. Masih
menggumpal bulat yang montok
dan kenyal. Benar-benar tubuh
paling sempurna yang pernah
saya lihat selama hidup saya. Saya
rasakan batang kemaluan saya mulai bangkit kembali
menyaksikan pemandangan yang
teramat indah ini. Dokter S kembali menghampiri
saya. Ia menyodorkan
payudaranya yang menggantung
kenyal ke wajah saya. Tanpa mau
membuang waktu, saya langsung
menerima pemberiannya. Mulut saja langsung menyergap
payudara nan indah ini. Sambil
menyedot-nyedot puting susunya
yang amat tinggi itu,
mengingatkan saya waktu saya
menyusu pada ibu saya selagi kecil. Dokter S adalah wanita yang
kedua yang pernah saya isap-isap
payudaranya, tentu saja setelah
ibu saya saat saya masih kecil.
“Uuuhh.. Aaah..” Dokter S
mendesah-desah tatkala lidah saya menjilat-jilat ujung puting susunya
yang begitu tinggi menantang.
Saya permainkan puting susu
yang memang amat menggiurkan
ini dengan bebasnya. Sekali-sekali
saya gigit puting susunya itu. Tidak cukup keras memang,
namun cukup membuat Dokter S
menggelinjang sambil meringis-
ringis.
Tak lama kemudian, batang
kemaluan saya sudah siap tempur kembali. Saya menarik tangan
Dokter S agar ikut naik ke atas
tempat tidur. Dokter S memahami
apa maksud saya. Ia langsung
naik ke atas tubuh saya yang
masih berbaring tertelentang di tempat tidur. Perlahan-lahan
dengan tubuh sedikit menunduk
ia mengarahkan batang kemaluan
saya ke liang kewanitaannya yang
sekelilingnya ditumbuhi bulu-bulu
lebat kehitaman. Lalu dengan cukup keras, setelah batang
kemaluan saya masuk satu
sentimeter ke dalam liang
kewanitaannya, ia menurunkan
pantatnya, membuat batang
kemaluan saya hampir tertelan seluruhnya di dalam liang
senggamanya. Saya melenguh
keras dan menggerinjal-gerinjal
cukup kencang waktu ujung
batang kemaluan saya menyentuh
pangkal liang kewanitaan Dokter S. Menyadari bahwa saya mulai
terangsang, Dokter S menambah
kualitas permainannya. Ia
menggerak-gerakkan pantatnya
berputar-putar ke kiri ke kanan
dan naik turun ke atas ke bawah. Begitu seterusnya berulang-ulang
dengan tempo yang semakin lama
semakin tinggi. Membuat tubuh
saya menjadi meregang
merasakan nikmat yang tiada tara. Saya merasa sudah hampir tidak
tahan lagi. Batang kemaluan saya
sudah nyaris menyemprotkan
cairan kenikmatan lagi. Namun
saya mencoba menahannya
sekuat tenaga dan mencoba mengimbangi permainan Dokter S
yang liar itu. Akhirnya.., “Aaahh..
Ouuhh..” Saya dan Dokter S sama-
sama menjerit keras. Kami berdua
mencapai klimaks hampir
bersamaan. Saya menyemprotkan air mani saya di dalam liang
kewanitaan Dokter S yang masih
berdenyut-denyut menjepit
batang kemaluan saya.
Demikianlah peristiwa yang terjadi
siang itu. Dan mau tahu apa hasil medical check up yang istimewa
tersebut? Saya dinyatakan sehat
secara fisik dan tentu saja secara
mental. Apalagi secara birahi.
Tentu para pembaca semua tahu
maksud saya ini. Dan akhirnya saya berhasil diterima di
perusahaan besar itu yang
merupakan impian saya sejak lama
dan saya berhasil mendapatkan
asuransi policy dari AIA sekalian
membantu teman saya mendapatkan komisinya.
Sayangnya, permainan saya yang
menggebu-gebu tersebut dengan
Dokter S merupakan pengalaman
saya yang pertama sekaligus yang
terakhir. Ia sepertinya menghindar apabila saya sengaja datang ke
tempat praktek dokternya.
Dengan alasan sibuk atau sejuta
alasan lainnya, Dokter S selalu
menolak menemui saya. Saya
tidak tahu mengapa ia bersikap seperti itu. Ah, biar saja!