Sabtu, 30 Maret 2013

Cerita Jeritan Prawan

Ketika umurku mulai mendekati
20 tahun, saya seperti gadis
lainnya memimpikan seorang
pemuda yang multazim dan
berakhlak mulia. Dahulu saya
membangun pemikiran serta harapan-harapan; bagaimana
kami hidup nanti dan bagaimana
kami mendidik anak-anak kami…
dan.. dan… Saya adalah salah
seorang yang
sangat memerangi ta’adud (poligami). Hanya semata
mendengar orang berkata
kepadaku, “Fulan menikah lagi
yang kedua”, tanpa sadar saya
mendoakan agar ia celaka. Saya
berkata, “Kalau saya adalah istrinya -yang pertama- pastilah
saya akan mencampakkannya,
sebagaimana ia telah
mencampakkanku’. Saya sering
berdiskusi dengan saudaraku dan
terkadang dengan pamanku mengenai masalah ta’addud.
Mereka berusaha agar saya mau
menerima ta’addud, sementara
saya tetap keras kepala tidak
mau menerima syari’at ta’addud.
Saya katakan kepada mereka, ‘Mustahil wanita lain akan bersama
denganku mendampingi
suamiku”. Terkadang saya
menjadi penyebab munculnya
problema-problema antara
suami-istri karena ia ingin memadu istri pertamanya; saya
menghasutnya sehingga ia
melawan kepada suaminya.
Begitulah, hari terus berlalu
sedangkan aku masih menanti
pemuda impianku. Saya menanti… akan tetapi ia belum juga datang
dan saya masih terus menanti.
Hampir 30 tahun umurku dalam
penantian. Telah lewat 30 tahun…
oh Illahi, apa yang harus
kuperbuat? Apakah saya harus keluar untuk mencari pengantin
laki-laki? Saya tidak sanggup,
orang-orang akan berkata wanita
ini tidak punya malu. Jadi, apa
yang akan saya kerjakan? Tidak
ada yang bisa saya perbuat, selain dari menunggu. Pada suatu
hari ketika saya
sedang duduk-duduk, saya
mendengar salah seorang dari
wanita berkata, ‘Fulanah jadi
perawan tua”. Aku berkata kepada diriku sendiri, “Kasihan
Fulanah jadi perawan tua”, akan
tetapi… fulanah yang dimaksud itu
ternyata aku. Ya Illahi!
Sesungguhnya itu adalah
namaku… saya telah menjadi perawan tua. Bagaimanapun
saya melukiskannya kepada
kalian, kalian tidak akan bisa
merasakannya. Saya dihadapkan
pada sebuah kenyataan sebagai
perawan tua. Saya mulai mengulang kembali perhitungan-
perhitunganku, apa yang saya
kerjakan? Waktu terus berlalu,
hari silih
berganti, dan saya ingin menjerit.
Saya ingin seorang suami, seorang laki-laki tempat saya bernaung di
bawah naungannya, membantuku
menyelesaikan problema-
problemaku… Saudaraku yang
laki-laki memang tidak
melalaikanku sedikit pun, tetapi dia bukan seperti seorang suami.
Saya ingin hidup; ingin
melahirkan, dan menikmati
kehidupan. Akan tetapi, saya
tidak sanggup mengucapkan
perkataan ini kepada kaum laki- laki. Mereka akan mengatakan,
“Wanita ini tidak malu”. Tidak ada
yang bisa saya lakukan selain
daripada diam. Saya tertawa…
akan tetapi bukan dari hatiku.
Apakah kalian ingin saya tertawa, sedangkan tanganku
menggenggam bara api? Saya
tidak
sanggup… Suatu hari, saudaraku
yang
paling besar mendatangiku dan berkata, “Hari ini telah datang
calon pengantin, tapi saya
menolaknya…” Tanpa terasa saya
berkata, “Kenapa kamu lakukan?
Itu tidak boleh!” Ia berkata
kepadaku, “Dikarenakan ia menginginkanmu sebagai istri
kedua, dan saya tahu kalau
kamu sangat memerangi ta’addud
(poligami)”. Hampir saja saya
berteriak di hadapannya, “Kenapa
kamu tidak menyetujuinya?” Saya rela menjadi istri kedua,
atau ketiga, atau keempat… Kedua
tanganku di dalam api. Saya
setuju, ya saya yang dulu
memerangi ta’addud, sekarang
menerimanya. Saudaraku berkata, “Sudah terlambat”
Sekarang saya mengetahui
hikmah dalam ta’addud. Satu
hikmah ini telah membuatku
menerima, bagaimana dengan
hikmah-hikmah yang lain? Ya ALlah, ampunilah dosaku.
Sesungguhnya saya dahulu tidak
mengetahui. Kata-kata ini saya
tujukan untuk kaum laki-laki,
“Berta’addud-lah, nikahilah satu,
dua, tiga, atau empat dengan syarat mampu dan adil. Saya
ingatkan kalian dengan firman-
Nya, “… Maka nikahilah olehmu
apa yang baik bagimu dari
wanita, dua, atau tiga, atau
empat, maka jika kalian takut tidak mampu berlaku adil, maka
satu…” Selamatkanlah kami. Kami
adalah manusia seperti kalian,
merasakan juga kepedihan.
Tutupilah kami, kasihanilah
kami.” Dan kata-kata berikut saya tujukan kepada saudariku
muslimah yang telah bersuami,
“Syukurilah nikmat ini karena
kamu tidak merasakan panasnya
api menjadi perawan tua. Saya
harap kamu tidak marah apabila suamimu ingin menikah lagi
dengan wanita lain. Janganlah
kamu mencegahnya, akan tetapi
doronglah ia. Saya tahu bahwa ini
sangat berat atasmu. Akan tetapi,
harapkanlah pahala di sisi ALlah. Lihatlah keadaan suadarimu
yang menjadi perawan tua,
wanita yang dicerai, dan janda
yang ditinggal mati; siapa yang
akan mengayomi mereka?
Anggaplah ia saudarimu, kamu pasti akan mendapatkan pahala
yang sangat besar dengan
kesabaranmu” Engkau mungkin
mengatakan
kepadaku, “Akan datang seorang
bujangan yang akan menikahinya”. Saya katakan
kepadamu, “Lihatlah sensus
penduduk. Sesungguhnya jumlah
wanita lebih banyak daripada
laki-laki. Jika setiap laki-laki
menikah dengan satu wanita, niscaya banyak dari wanita-
wanita kita yang menjadi perawan
tua. Jangan hanya memikirkan diri
sendiri saja.
Akan tetapi, pikirkan juga
saudarimu. Anggaplah dirimu berada dalam posisinya”. Engkau
mungkin juga
mengatakan, “Semua itu tidak
penting bagiku, yang penting
suamiku tidak menikah lagi.”
Saya katakan kepadamu, “Tangan yang berada di air tidak seperti
tangan yang berada di bara api.
Ini mungkin terjadi. Jika
suamimu menikah lagi dengan
wanita lain, ketahuilah
bahwasanya dunia ini adalah fana, akhiratlah yang kekal.
Janganlah kamu egois, dan
janganlah kamu halangi
saudarimu dari nikmat ini. Tidak
akan sempurna keimanan
seseorang sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia
cintai untuk dirinya sendiri”. (1)
Demi ALlah, kalau kamu
merasakan api menjadi perawan
tua, kemudian kamu menikah,
kamu pasti akan berkata kepada suamimu “Menikahlah dengan
saudariku dan jagalah ia”. Ya
ALlah, sesungguhnya kami
memohon kepadamu kemuliaan,
kesucian, dan suami yang shalih”